Sistem pengolahan limbah adalah infrastruktur yang dibangun khusus untuk menangani, menyalurkan, dan mengolah limbah atau limpahan air hujan agar dapat dikembalikan dan diterima oleh lingkungan sehingga tidak membahayakan
Sistem pengolahan limbah di Indonesia pernah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1910an untuk Bandung, Cirebon, Solo, dan Yogyakarta. Pembangunan sistem ini terhenti pada saat Indonesia merdeka, dan baru mulai dikembangkan lagi pada akhir dekade 80an di beberapa kota besar.
Suatu sistem pengolahan limbah modern berfungsi untuk mengumpulkan air tinja dari rumah-rumah dan mengolahnya sampai mencapai baku mutu efluen yang ditetapkan. Dengan adanya sistem ini, septic tank tidak dibutuhkan lagi, sehingga potensi pencemaran air tanah akan berkurang. Sistem pengolahan limbah hitam umumnya terdiri dari sambungan rumah, saluran pengumpul, dan instalasi pengolahan.
Di banyak negara maju, instalasi pengolahannya dilengkapi dengan sarana penanganan lumpur yang lengkap, sementara di Indonesia, pada tahun 2006 sulit menjumpai sistem pengolahan limbah hitam yang lengkap, baik, dan modern. Sistem yang demikian (lengkap, baik, dan modern) hanya terdapat di beberapa kawasan permukiman modern seperti Jabeka Cikarang, Lippo Bekasi, dan Lippo Karawaci.
Pada tahun 2006 tercatat hanya sepuluh kota yang memiliki sistem pengolahan limbah yaitu: Balikpapan, Banjarmasin, Bandung, Cirebon, Jakarta, Medan, Prapat, Surakarta, Tangerang, dan Yogyakarta.[1] Namun kondisi dan kinerja berbagai sistem yang adapun masih belum baik, umumnya sistem-sistem ini cakupan layanannya belum mencapai 10 persen dari populasi kota.
Pelatihan Sistem Pengelolaan Air Limbah (IPAL-STP) diselenggarakan di P2M Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Tanggal, 14 s/d 16 Mei 2018.
Para Pengajar :
Setyo S. Moersidik
RM. Sandyanto Adityosulindro